Social Icons

Pages

About me

sebuah nama sebuah serita dan seutas mimpi......

Rabu, 27 Oktober 2010

AGRIBISNIS PADI ORGANIK

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Era globalisasi yang ditandai dengan ditanda-tanganinya perjanjian GATT oleh berbagai negara termasuk Indonesia membawa dampak besar terhadap sistem perdagangan dunia yang mengandalkan tingkat persaingan yang tinggi serta menekankan pada masalah mutu. Dalam hubungan ini, tantangan aspek mutu di sektor pertanian perlu diikuti dengan memantapkan standardisasi pada semua lini kegiatan pertanian, sesuai dengan dinamika pasar di tingkat internasional.
Perjanjian GATT dalam WTO khususnya komisi Sanitary and Phytosanitary (SPS) yang sangat erat kaitannya dengan ketentuan­ketentuan standar, ketentuan perkarantinaan dan keamanan pangan. Dalam penerapannya harus memenuhi ketentuan yang telah disepakati yaitu: transparan, "fair" dan tidak diskriminatif, resiprokal serta dilandasi dengan kajian ilmiah bagi seluruh anggota. Ini berarti dalam pelaksanaan perjanjian tersebut semua negara yang telah sepakat dengan perjanjian WTO tidak diperkenankan menerapkan standar ganda atau peraturan yang berbeda terhadap komoditas impor maupun lokal (Saragih, 2000). Tantangan utama dari program peningkatan produktivitas dan produksi padi adalah bagaimana membuat agar usahatani padi lebih efisien sehingga memiliki daya saing dan layak sebagai sumber pendapatan yang berkelanjutan. Dalam dasawarsa terakhir ini usahatani padi menghadapi kondisi yang masih belum memenuhi harapan semua pihak. Kita harus mengupayakan agar produksi padi domestik memiliki daya saing, yang dicirikan oleh tingkat efisiensi produksi dan mutu yang tinggi. Usaha peningkatannya harus melibatkan semua pelaku sistem dan usaha agribisnis berbasis komoditas padi (Saragih, 2001).
Pembangunan pertanian senantiasa memerlukan informasi ilmu dan teknologi yang terus berkembang dengan tujuan untuk mewujudkan pertanian modern yang maju, efisien, dan tangguh serta berorientasi pada pasar dan dilaksanakan secara profesional, menguntungkan, dan memiliki kemandirian. Peningkatan produksi pertanian khususnya tanaman pangan, secara nasional merupakan pilar yang penting dan sangat menentukan terhadap ketahanan sosial, ekonomi, dan politik.
Usaha peningkatan produksi beras terus diupayakan sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, perubahan pola pangan dari non beras ke beras dan penyusutan areal pertanian akibat pemukiman dan penggunaan lain. Hasil penelitian sosial ekonomi Departemen Pertanian tahun 2000 diperoleh bahwa jika pola konsumsi pangan nasional serta produksi tetap, maka Indonesia akan mengimpor beras sebanyak 8 juta ton. Jumlah tersebut termasuk jumlah ambang psikologis yang harus diwaspadai agar tidak menimbulkan keresahan yang dapat mengancam ketahanan di bidang sosial, politik dan ekonomi.
Keberhasilan swasembada beras pada tahun 1984 tidak terlepas dari peranan pupuk sebagai salah satu paket dalam program intensifikasi. Oleh karena itu, penggunaan pupuk yang efisien merupakan salah satu upaya untuk mengurangi konsumsi pupuk buatan tanpa menurunkan produksi (Ismunadji dan Zulkamain, 1973). Penggunaan varietas unggul padi pada paket program intensifikasi adalah responsif terhadap pemupukan sehingga menyebabkan penggunaan pupuk anorganik semakin meningkat dan sebaliknya penggunaan pupuk organik semakin berkurang kalau tidak dikatakan tidak sama sekali. Apabila keadaan ini berlangsung terus tanpa mempertimbangkan manfaat pupuk organik, maka akan merusak sifat fisik tanah yang pada akhirnya akan menyebabkan produktivitas tanah menurun (Karama, 1990) sehingga akan sulit tercapai pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture) yang lambat laun akan tercipta lahan-lahan marginal baru.
Luas panen padi sawah Sulawesi Selatan pada tahun 1998 adalah 848.268 ha (Deptan, 1999). Dengan asumsi bahwa dalam berusahatani padi sawah rata rata dosis pupuk yang digunakan adalah 120 kg N yang setara dengan kurang lebih 250 kg urea ha-1 sekarang di tingkat petani sudah digunakan dosis 300 kg urea ha-1 sehingga dengan luasan tersebut dibutuhkan pupuk urea sebanyak 212.067 ton. Diandaikan harga pupuk urea per kilogramnya Rp.1000 (harga sekarang Rp.1.150), maka untuk mendatangkan pupuk urea sebanyak itu diperlukan dana sebesar Rp. 212 milyar. Namun dengan melakukan efisiensi penggunaan pupuk urea/nitrogen misalnya dengan penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati akan menghemat pemakaian pupuk anorganik (urea) sebesar 25 50 % yang tentunya akan menghemat keuangan daerah kurang lebih Rp. 5,25 10,5 milyar setiap tahun dari sektor tanaman padi sawah saja. Efisiensi pemberian hara bertujuan untuk me-ningkatkan produksi tanaman ditinjau dari segi agronomi, ekonomi, dan lingkungan. Dari segi ekonomi, efisiensi penggunaan nitrogen diartikan sebagai total nitrogen yang digunakan atau biaya yang dapat dikembalikan akibat pemupukan dengan demikian akan menghemat energi dan kerusakan terhadap lingkungan dapat dikurangi.
Memburuknya sifat fisika tanah pada akhirnya akan menurunkan produktivitas lahan. Salah satu cara untuk memperbaiki atau mempertahankan sifat fisika dan kimia tanah adalah dengan pemberian bahan organik ke dalam tanah, karena perbaikan sifat fisika dan kimia tanah akan meningkatkan ketahanan tanah terhadap bahaya erosi dan menjadikan lingkungan yang kondusif baik bagi pertumbuhan tanaman. Pupuk organik dengan sendirinya merupakan keluaran setiap budidaya pertanian sehingga merupakan sumber hara makro dan mikro yang dapat dikatakan cuma-cuma (Sutanto, 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa pupuk organik berdaya ameliorasi ganda dengan bermacam-macam proses yang saling mendukung, bekerja menyuburkan tanah dan sekaligus mengkonservasikan dan menyehatkan ekosistem tanah serta menghindarkan kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan. Walaupun kandungan hara dalam pupuk organik relatif rendah dibandingkan dengan pupuk mineral, akan tetapi pupuk organik memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki pupuk mineral di antaranya dapat memperbaiki sifat sifat fisik tanah (memperbaiki struktur tanah, porositas, permeabilitas, meningkatkan ke-mampuan untuk menahan air, dan lain lain), sifat kimia (meningkatkan kemampuan tanah untuk menjerap kation, sebagai sumber hara makro dan mikro, dan pada tanah masam dapat menaikkan pH dan menekan kelarutan Al dengan membentuk kompleks Al organik) dan sifat biologi tanah (meningkatkan aktivitas mikroba tanah dan sebagai sumber energi bagi bakteri penambat N dan pelarut fosfat, dan lain lain). Bohn dkk. (1985) mengemuka-kan bahwa penambahan bahan organik ke dalam tanah menyebabkan terbentuknya pori mikro dengan agregat agregat tanah yang lebih besar. Hasil percobaan Sutanto dan Utami (1995) di tanah kritis dengan memanfaatkan beberapa jenis kompos untuk tanaman kacang tanah dan jagung ternyata memperoleh hasil yang lebih baik daripada menggunakan pupuk kimia sesuai dengan dosis anjuran. Menurut Alwi dan Nazemi (2000) pemberian brangkasan kedelai dapat menekan kebutuhan pupuk urea untuk tanaman kedelai dan jagung. Selanjutnya oleh Fauziati, Saragih dan Noorjanah (2000) penambahan bahan organik berupa kotoran sapi, kotoran ayam atau Crotolaria sp. dapat mengurangi pemberian urea pada pertanaman jagung dan memperbaiki sifat kimia tanah. Pemberian bahan organik dapat meningkatkan hasil jagung 17-50 %, padi gogo 20-80 %, kedelai 25-50%, dan kacang tanah 6-34 %.
Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa banyak tanah tanah marginal mem-punyai potensi besar untuk meningkatkan produksi tanaman pangan dan hortikultura dengan pemberian pupuk organik. Selain berfungsi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil, pemberian pupuk organik juga bertujuan untuk memperbaiki dan memper-tahankan tingkat kesuburan tanah. Efektivitas penggunaan pupuk organik pada lingkup lebih luas telah dilaporkan oleh Gaur (1979), bahwa terjadi peningkatan gabah dan jerami padi sebanyak 41, % dan 26, % dari penggunaan pupuk organik. Keuntungan pemakaian pupuk organik antara lain :(1) mempertahankan tingkat kesuburan tanah dan produktivitas lahan secara berkesinambungan (sustainable agriculture), (2) memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, (3) sebagai sumber unsur hara terutama hara mikro, (4) mening-katkan aktivitas mikroba yang mampu menambat N udara (Azotobacter sp.), bakteri pelarut fosfat, (5) mengurangi atau menekan pemakaian pupuk buatan yang berdampak negatif terhadap lingkungan (eutrofikasi). Penggunaan pupuk organik bertujuan agar produktivitas lahan dapat ditingkatkan atau paling tidak mengalami degradasi sehingga lahan usahatani lebih terlanjutkan dengan tingkat produktivitas yang relatif stabil. Bahan organik yang dapat digunakan banyak macamnya, antara lain pupuk hijau, pupuk kandang dan kompos atau kompos hasil fermentasi/bokashi dan bekas cacing (kascing) (Syam'un, 2001).
Bahan organik merupakan bahan yang penting dalam meningkatkan kesuburan tanah karena fungsinya yang vital dalam meningkatkan daya pegang air, meningkatkan daya sangga terhadap unsur yang dapat meracuni tanaman serta meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik (Prayudi, 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa kandungan bahan organik tanah dapat ditingkatkan melalui pemberian bahan di antaranya dari kompos. Limbah pertanian baik yang berupa jerami, brangkasan palawija, serta biomasa gulma sepeti alang-alang dan eceng gondok merupakan limbah yang baik untuk dijadikan pupuk organik (kompos).
Sistem pertanian yang dikembangkan di Indonesia selama kurang lebih tiga dekade telah memberikan kontribusi yang besar bagi pemenuhan pangan dan peningkatan kualitas hidup secara nasional. Hal ini terlihat dengan dicapainya swasembada pangan pada tahun 1984. Namun status ini tidak dapat dipertahankan lagi, hal ini terlihat bahwa beberapa tahun terakhir ini Indonesia mengimpor beras dalam jumlah besar (3 juta ton pada tahun 1998). Oleh karena itu sistem pertanian yang telah di tempuh selama ini perlu dievaluasi karena diketahui dapat mengakibatkan kemunduran kualitas lingkungan dan sumber daya yang tak dapat diperbaharui. Sehingga menjadi sangat mendesak untuk merekayasa dan mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan serta ramah terhadap lingkungan. Salah satu upaya untuk menunjang terwujudnya sistem pertanian yang berkelanjutan serta ramah lingkungan dimaksud ialah pemberian bahan organik dengan memanfaatkan limbah pertanian yang berupa jerami padi, brangkasan palawija, dan sisa-sisa tanaman lainnya. Salah satu sumber bahan organik (kompos) yang mudah diperoleh dalam budidaya tanaman pangan adalah limbah pertanian dalam bentuk jerami padi, brangkasan palawija, dan biomassa gulma yang selama ini hanya dibakar dan belum digunakan sebagai sumber pupuk organik yang potensial. Pemberian bahan organik (kompos) bermutu yang dibuat dengan menggunakan bioaktivator (bakteri) ke dalam tanah mem-berikan dua keuntungan yaitu meningkatkan kesuburan tanah (fisik, kimia dan biologi tanah) serta meningkatkan populasi mikroba antagonis yang mampu menekan perkembangan patogen tanaman yang bersifat soil born. Pengendalian hayati tersebut untuk penyakit tanaman sampai saat ini diyakini tidak menimbulkan dampak yang merugikan bagi suatu agro-ekosistem sehingga cara tersebut cukup ramah lingkungan.
Kompos dapat diartikan sebagai hasil perombakan bahan organik dalam kondisi terkendali, dan produk akhirnya cukup stabil dalam penyimpanan, serta aplikasi pada lahan tidak menimbulkan dampak yang merusak lingkungan. Kompos yang baik tidak saja memperkaya unsur hara dalam tanah. tapi juga memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi. Di sekitar kita banyak sekali bahan organik potensial yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik namun belum digarap secara optimal di antaranya limbah dari kulit buah kakao, tongkol jagung, tandan kosong kelapa sawit, eceng gondok, limbah serat tebu, limbah serat sagu, jerami padi, jerami jagung, jerami kedelai, daun singkong dari industri tapioka, limbah rumah tangga, limbah pasar yang kesemuanya dapat diolah menjadi pupuk organik (kompos) yang kualitasnya tidak kalah dengan yang dihasilkan oleh produsen pupuk organik di Pulau Jawa. Kakao merupakan komoditi perkebunan terbesar yang dihasilkan provinsi Sulawesi Selatan dengan jumlah produksi pada tahun 2000 sebanyak 210.357 ton dan untuk daerah kabupaten Polewali dihasilkan kakao sebanyak 25.130 ton (BPS, 2000). Menurut Harjadi dan Mardjosuwito dalam Mide (2001) komposisi buah kakao terdiri dari 74 % merupakan kulit buah, 2 % plasenta, dan 24 % biji. Sedangkan menurut Mide dan Fattah dalam Mide (2001) bahwa 75 % dari bahan kering dari keseluruhan buah kakao merupakan kulit buah dan kulit biji 10 % atau kurang lebih 2,4 % dari seluruh buah. Oleh karena itu untuk menghasilkan kakao sebanyak 26.130 ton untuk tingkat kabupaten Polewali juga akan meng-hasilkan kulit kakao yang merupakan limbah kulit sebanyak 19336 ton. Kulit yang diolah menjadi pupuk organik (setelah pengomposan) akan mengalami penyusutan sebesar 70 %. Dengan demikian dari kulit buah kakao yang dihasilkan kabupaten Polewali jika diolah dengan menggunakan bioaktivator akan diperoleh pupuk organik sebanyak 5800 ton. Andai setiap kilonya bernilai Rp. 500 (sekarang di pasar harga pupuk organik Rp 1000-1500) maka akan diperoleh dana sebesar Rp. 2.900.000.000 (2,9 milyar). Jumlah tersebut selama ini tidak dimanfaatkan baik sebagai sumber mata pencarian , pupuk alternatif maupun sebagai bidang usaha baru yang dapat menyerap tenaga kerja di tingkat pedesaan. Pupuk organik yang berasal dari kulit kakao memiliki kandungan hara sebagai berikut N-total (%) 1.3, C-org (%) 33,71, C/N 26, P2O5 (%) 0.186, K2O (%) 5.5, CaO (%) 0.23, MgO (%) 0,59 (Indiani, 2000).

B. Perumusan Masalah

Kebutuhan pangan semakin dewasa ini semakin sulit terpenuhi, upaya pelestarian swasembada beras cukup memprihatinkan, hal itu disebabkan karena peningkatan produksi padi yang sudah melandai (levelling off), pesatnya konversi lahan ke lahan non pertanian, serta tingkat kesuburan tanah yang rendah terutama di luar Jawa. Selain itu, menurut Khudori (2001) penggunaan pupuk anorganik dan pestisida telah merusak tanah dan lingkungan sehingga makin menyulitkan meningkatkan produksi. Akibat pemakaian pupuk anorganik terus menerus dan dosisnya selalu ditingkatkan menyebabkan tanah mengalami degradasi sehingga pemupukan relatif tidak bisa lagi menaikkan hasil.
Penggunaan pupuk yang efisien termasuk pemanfaatan pupuk organik merupakan salah satu upaya untuk mengurangi konsumsi pupuk buatan tanpa menurunkan produksi. Selain karena harga pupuk cenderung tidak terjangkau petani akibat dicabutnya subsidi oleh pemerintah juga ketersediaannya sering menjadi langka pada saat musim tanam padi sehingga banyak petani yang terpaksa tidak melakukan pemupukan akibatnya produksi padi sangat rendah.
Beras merupakan makanan pokok penduduk Indonesia dengan tingkat konsumsi 133 kg kapita 1 tahun 1 (BPS, 2000) sehingga dirasa perlu mencari teknologi yang dapat meningkatkan hasil padi tanpa penggunaan pupuk sintetik yang tidak rasional dan tanpa merusak sumberdaya alam secara berlebihan sehingga akan tercipta suatu pertanian yang tangguh dan berkelanjutan (sustainable agriculture), berdaya saing tinggi dan yang tidak kalah pentingnya adalah ancaman krisis pangan dapat diatasi. Selain itu, penggunaan pupuk kimia diketahui juga menimbulkan dampak negatif terhadap tanah dan air. Tanah mengalami degradasi kesuburan fisik, kimia maupun biologis sebagai akibat tergesernya peranan pupuk organik yang menyebabkan tanah semakin rakus terhadap pupuk kimia (Taslim et al, 1989; Safley, 1990; Miller and Larson, 1990). Di samping itu pencemaran air oleh nitrat yang bersumber dari pupuk urea telah banyak dilaporkan (Clancy, 1990).
Olehnya itu, diperlukan kajian upaya pengembangan dalam rangka peningkatan daya saing produk unggulan, yaitu penelitian uji adaptasi beberapa varietas padi pada lahan-lahan yang menggunakan pupuk organik
Berdasarkan rumusan masalah tersebut dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Kemajuan teknologi pangan selain berdampak bagi peningkatan produksi secara berlipat ganda, juga potensial memberi pengaruh buruk berupa terjadinya kontaminasi bahan akibat pemupukan an-organik dan penggunaan pestisida yang berlebihan yang selanjutnya dapat mengangganggu kesehatan manusia.
2. Kecenderungan meningkatnya harga bahan pupuk anorganik, disisi lain bahan baku pupuk organik banyak tersedia sehingga pupuk organik menjadi alternatif pilihan bagi petani.



C. Tujuan
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk :
1. Mengidentifikasi jenis varietas padi yang mempunyai adaptasi tinggi terhadap lahan yang menggunakan pupuk organik.
2. Mengetahui kondisi lahan sebelum dan sesudah pemberian pupuk organik serta tingkat produksi dan produktifitas padi yang dihasilkan.
3. Mengkaji beberapa varietas dan jenis pupuk organik yang dapat dikembangkan untuk menunjang peningkatan produktivitas padi melalui sistem budidaya organik di Sulwesi Selatan

D. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai suatu model sistem budidaya padi secara organik dan menguntungkan bagi masyarakat umum. Sekaligus memperoleh hasil berupa data dan informasi ilmiah yang akurat dan relevan untuk pengembangan dan kemajuan pembangunan sektor pertanian dalam konteks penerapan potensi komoditas padi unggulan yang mempunyai daya saing tangguh dan berkelanjutan.

E. Rancangan Kebijakan
Hasil penelitian ini akan berupa sajian data dan informasi penting tentang tipe varietas padi, jenis pupuk organik yang cocok dan kesesuaian tipologi lahan yang cocok untuk pengembangan padi melalui sistem budidaya organik. Hasil dapat menjadi bahan acuan dalam penyusunan, perencanaan dan rekomnedasi rancangan kebijakan pemerintah dalam rangka pembangunan pertanian dan pengembangan tanaman padi di Sulawesi Selatan yang berdaya saing tinggi dan berwawasan lingkungan secara berkelanjutan.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
Beras merupakan kebutuhan pokok sebagian besar penduduk dunia, khususnya di negara Asia dan negara berkembang lainnya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan makanan pokok penduduk dunia yang terus bertambah, total produksi beras nasional perlu terus ditingkatkan.
Di Indonesia, kekurangan produksi beras tetap merupakan masalah yang masih dihadapi. Berbagai upaya perlu terus dilakukan untuk meningkatkan produksi beras nasional, karena konsumsi dan kebutuhan dalam negeri terus meningkat.
Pemuliaan padi di Indonesia telah berlangsung cukup lama, dan sejak tahun 1940 telah cukup banyak varietas unggul yang dihasilkan (Tabel 1). Dihasilkannya varietas unggul yang merupakan varietas unggul dengan ‘arsitektur revolusi hijau’ tersebut selama beberapa puluh tahun sejak periode 1960-an telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam peningkatan produksi beras nasional.
Tabel 1. Jumlah Varietas di Lepas Sejak Tahun 1940
Periode Jumlah Varietas Umur panen Potensi Produksi (ton/ha)

1940 – 1960
1960 – 1965
1966 – 1970
1971 – 1975
1976 – 1980
1981 – 1985
1986 – 1990
1991 – 1995
1996 – 2000
2000 – 2004
13
6
4
7
19
34
23
17
27
51
t.a.d
145 – 160
125 – 140
120 – 140
115 – 145
105 – 135
100 – 135
90 – 120
110 – 120
100 - 120
t. a.d
2.5 – 4.5
4.5 – 5.5
3.0 – 7.0
3.0 – 7.0
4.0 – 6.0
4.0 – 7.0
5.0 – 5.6
4.0 – 8.0
3.5 – 8.0
Total 201


Perkembangan penigkatan produktivitas lahan sawah (ton/ha) di Indonesia telah cukup berarti dalam kurun periode beberapa puluh tahun tersebut (Tabel 2).

Tabel 2. Perkembangan Tingkat Produktivitas Rata-rata Padi Sawah di Indonesia periode 1970 – 2000.

Peningkatan
rata-rata produktivitas
(ton/ha) Tahun Lamanya dicapai
(tahun)

2.5 – 3.0
3.0 – 3.5
3.5 – 4.0
4.0 – 4.5
4.5 – 5.0

1970 – 1976
1976 – 1980
1980 – 1982
1982 – 1989
1989 - ?

6
4
2
7
?



Propinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu produsen utama padi nasional. Sampai saat ini, petani padi umumnya menggunakan varietas-varietas unggul hasil pemuliaan generasi ‘Revolusi Hijau’ dengan arsitektur tanaman yang kita kenal seperti di atas dengan istilah ‘varietas unggul arsitektur revolusi hijau’ seperti IR64, Ciherang, dan sejenisnya. Kita sudah mengenal varietas tipe revolusi hijau ini dengan ciri-cirinya berupa tanaman pendek, tegak, anakan banyak, dst. Potensi hasil varietas ini sudah umum pula diketahui, yaitu berkisar 4 – 7 ton/ha. Dengan penggunaan varietas unggul ‘tipe revolusi hijau’ ini, sampai saat ini telah dicapai rata-rata produksi nasional sekitar 4.5 ton/ha. Di beberapa daerah rata-rata produksi petani dapat mencapai 5 – 7 ton/ ha, sementara di daerah lain hanya berkisar 3 – 5 ton/ha.
Tingkat produktivitas (produksi/ha) padi sawah dengan arsitektur (ideotype) revolusi hijau tersebut telah melandai, artinya teknologi budidaya apapun yang diberikan, karena potensi genetik produksi varietasnya sudah jenuh, peningkatan produksi/ha lebih lanjut sangat sulit dicapai dicapai. Hal ini telah disadari oleh para peneliti padi di dunia, termasuk pula di Indonesia.
Untuk meningkatkan kembali produktivitas (tingkat produksi /ha) yang sudah melandai, diperlukan varietas unggul berdaya hasil super tinggi, melebihi daya hasil varietas yang sudah ada tersebut. Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli di dunia, kini diyakini, bahwa kebuntuan pelandaian produksi tersebut dapat didobrak kembali dengan pengembangan apa yang disebut dua strategi yaitu : (1) Padi Tipe Baru (PTB), dan (2) Padi Hibrida.
Pemanfaatan padi hibrida sangat menjanjikan, namun karena sifat teknologinya sedemikian rupa, setiap kali tanam petani harus membeli benih dengan harga yang tinggi. Saat ini, kelembagaan kita dan permodalan petani menghadapi kendala untuk dapat mengadopsi teknologi tersebut. PTB lebih memberi harapan karena sifat teknologi genetiknya tidak berbeda dengan varietas yang sudah biasa ditanam petani, tetapi dengan potensi produksi yang super unggul.
Ideotype (arsitektur) PTB dirancang oleh peneliti IRRI tahun 1988. Ciri utama dari arsitektur PTB adalah jumlah anakan lebih sedikit yaitu 8-10 tetapi semua produktif, perakaran dalam, batang kuat, malai lebat (jumlah gabah bernas 200 – 250/malai, daun tegak, tebal dan berwarna hijau tua, umur 100 – 130 hari, tahan terhadp hama penyakit utama. Yuan (1999) menyatakan bahwa ideotype (arsitektur) PTB tersebut merupakan gabugan antara sifat padi Indica dengan Javanica (Indo-Japonica atau tropical Japonica). Dengan sifat morfologi seperti tersebut di atas, PTB mempunyai potensi produksi 30-50% lebih tinggi dari varietas unggul tipe arsitektur revolusi hijau yang saat ini ditanam petani (Fagi et al., 2002 ; Peng and Cassman, 1994). PTB mempunyai potensi produksi diatas 8 ton/ha, bahkan dapat mencapai 9.5 – 11 ton/ha (Chen et al., 2001 ; Bardhan, 2001 ; Horie, 2001).
Di China, PTB pertama yang dihasilkan, Sennong 265, mulai ditanam tahun 1997 dapat mencapai produksi 11 – 11.8 ton gabah kering giling per ha. PTB lainnya, Shennong 606 ditanam tahun 1999 mampu mencapai produksi 12.2 ton / ha (Chen et al., 2001). Di Jepang, varietas PTB Takanari dan Milyang 23 mampu berproduksi rata-rata 10 ton/ha (Horie, 2001). Beberapa PTB yang dikembangkan oleh IRRI seperti IR 6546-161-2-2-3-22 mampu berproduksi 12.4 ton per hektar di Yunnan, China. PTB lainnya, Amaroco dan Echuca mampu mencapai produksi 13.4 dan 14.3 ton per hektar di Yanco, Australia (Nishio et al., 2000).
Pengembangan PTB di Indonesia baru dimulai tahun 1996 oleh Balai Penelitian Tanaman Padi, Badan Litbang Departemen Pertanian. Pada akhir tahun 2003 / awal 2004 dilepas varietas PTB pertama Indonesia, yaitu varietas Fatmawati. Varietas PTB ini memiliki potensi produksi mencapai di atas 8 ton per ha. Walaupun mempunyai potensi produksi super tinggi, varietas Fatmawati memiliki beberapa kelemahan, yaitu : (1) kehampaan gabah sangat tinggi yang dapat mencapai 30%, (2) gabah sulit di rontok, dan (3) kualitas beras kurang baik. Karena kekurangan-kekurangan tersebut, Fatmawati sampai saat ini kurang mendapat sambutan yang baik dari petani.
Kompos
Kompos yang baik tidak saja memperkaya unsur hara dalam tanah juga mem-perbaiki sifat fisik, kimia dan biologi. Kualitas kompos yang ideal adalah sebagai berikut: (a). Fisik kompos: berwarna coklat sampai kehitaman tidak berbau menyengat (busuk) berstruktur remah), (b). kimiawi kompos mengandung bara N, P, K dan hara lainnya dengan nisbah C/N berkisar 8 20, dan (c) kompos tidak merupakan sumber bibit penyakit bagi tanaman dan lingkungan. Teknik pembuatan kompos dapat dibedakan dalam 2 (dua) kelompok yaitu perombakan secara aerob dan anaerob. Pengomposan secara aerob merupakan suatu proses penguraian bahan organik yang memerlukan udara (oksigen). Sebaliknya pengomposan secara anaerob merupakan proses dekomposisi bahan organik tanpa kehadiran oksigen (udara). Proses pengomposan secara aerob lebih banyak dilakukan karena mempunyai beberapa keuntungan.antara lain; proses pengomposan berjalan lebih cepat, tem-peratur yang relatif tinggi akan membunuh organik patogen yang merugikan bagi tanaman dan tidak menimbulkan bau busuk sepanjang kondisi aerob dapat diper-tahankan. Bahan bahan yang digunakan untuk kompos bisa bermacam macam, antara lain sisa sisa tanaman/sayuran, serbuk gergaji, kotoran hewan, .sampah kota dan rumah tangga, brangkasan kedelai, tongkol jagung dan jerami padi.
Proses pembuatan kompos dapat dipercepat sehingga menghasilkan kompos berkualitas yang diharapkan mempunyai fungsi fisika, kimia, dan biologi yang cukup baik, Proses pengomposan bisa berlangsung cepat atau lambat, tergantung pada (1) kondisi bahan organik, (2) mikro organisme yang ada, (3) kelembaban, (4) suhu, (5) pH,. dan (6) lingkungan. Effective Microorganism (EM4) yang diperkenal-kan oleh Teruo (1993) merupakan suatu inokulan yang mengandung 90 persen Lactobacilius sp. dan mikroorganisme yang lain termasuk jamur. Sebagai inokulan EM4 dapat melakukan fermentasi dan mengaktifkan mikroorganisme yang sudah ada sehingga pengomposan berlangsung lebih baik dan cepat. Waktu yang diper1u-kan untuk pembuatan kompos siap pakai hanya 6 hari saja (Subowo dkk., 1990).
Bahan organik dapat juga memperbaiki daya olah tanah berstruktur kompak karena bahan organik dapat mengurangi daya ikat antar partikel tanah. (Soeprapto Sumadi dkk.,1989).
Bahan organik penting sebagai gudang penyimpan dan pengatur pelepasan unsur hara dalam tanah. Umumnya bahan organik bermuatan negatif sehingga mem-punyai kapasitas adsorbsi 250 mg sampai 450 mg per 100 g bahan. Selain itu, bahan organik dapat bertindak sebagai penyangga di dalam larutan tanah.
Bahan organik tanah merupakan energi utama sebagian mikroorganisme tanah, terutama golongan dekomposer. Perombakan pupuk hijau oleh mikroba tanah akan menghasilkan senyawa-senyawa seperti karbohidrat, protein, asam amino, dan berbagai asam organik yang merupakan sumber energi mikroba. Bahan organik, selain merupakan sumber energi mikroba, juga mengeluarkan zat spesifik seperti kuinon atau benzokuinon yang dapat meningkatkan kapasitas adsorbsi dan perpanjangan akar tanaman. Bahkan, hasil dekomposisi bahan organik ternyata dapat mengurangi pe-nyakit akar. Di samping itu, bahan organik juga merupakan sumber N dan C bagi mikroba tanah, terutama golongan kemoheterotrof (Joedoro Soedarsono, 1982). Tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi berkorelasi positif dengan jumlah dan aktivitas mikroba tanah. Tanah lapisan atas biasanya mempunyai jumlah mikroorganisme tanah yang lebih banyak dibandingkan dengan lapisan tanah bawah yang kurang mengandung bahan organik.
Ada beberapa golongan mikroba perombak selulose dari pupuk hijau, yaitu bakteri, jamur, dan Actinomycetes. Kelompok bakteri meliputi Bacillus, Cellulomonas, Clostridium, Cytophage, Sporocytophage, dan Vibrio. Golongan jamur meliputi Alternaria, Aspergillus, Fomes, Penicillium, Polyporus, Rhizoctonia, Trichoderma, Verticillium, dan Zygorhinchus. Golongan Actinomycetes meliputi Macromonospora, Nocardia, Streptomyces, Strepto- sporangium (Joedoro Soedarsono, 1982).


B. Kerangka Pemikiran
C. Definisi Operasional dan Konseptual Variabel
D. Hipotesis
Hipotesis yang dapat diduga adalah :
1. Terdapat satu varietas padi yang dapat berproduksi baik pada lahan yang menggunakan pupuk organik
2. Terdapat jenis pupuk organik yang mampu memacu pertumbuhan dan produksi padi.


III. Metode Penelitian
A. Lokasi dan Waktu
Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan di dua daerah yang berbeda tipologi lahan yakni Kabupaten Sidrap sebagai daerah sentra produksi padi dan di Kabupaten Gowa sebagai daerah pengembangan padi di Sulawesi Selatan. Penelitian ini akan berlangsung pada bulan Juni sampai November 2007
B. Materi Penelitian
Bahan-bahan yang dipergunakan adalah benih padi sebanyak 5 varietas padi yang dikembangkan di Sulawesi Selatan, pupuk organik dari limbah pertanian yang banyak tersedia di lapangan, dan pupuk kandang sebagai sumber bahan organik. Selain itu, juga digunakan sarana produksi penunjang lain, seperti bahan-bahan uji pelengkap analisa kajian yang diperlukan.

C. Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Petak Terpisah (Split Plot Design), dimana : Faktor A (varietas) sebagai Petak Utama, terdiri atas V1, V2, V3, V4, dan V5, dan faktor B (pupuk organik) sebagai Anak Petak, terdiri atas P0, P1, dan P2,. Setiap perlakuan akan ditempatkan pada masing-masing 3 ulangan. Data hasil pengamatan akan dianalisis dengan melakukan uji lanjutan yang sesuai.

I. Parameter/Indikator
Parameter peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah : tinggi tanaman (cm), jumlah anakan dan total anakan produktif, umur berbunga dan umur panen, jumlah malai, jumlah gabah total permalai, jumlah gabah bernas permalai, presentase gabah hampa permalai, berat 1000 butir, serta produksi dan produktivitasnya berdasarkan ubinan.
Dari pengamatan ini, diharapkan diperoleh target dan indikator keberhasilan dari penelitian yang diusulkan yakni dihasilkan tipe varietas padi yang memiliki daya adaptasi tinggi terhadap jenis pupuk organik di berbagai tipologi lahan di Sulawesi Selatan, dengan potensi produksi super tinggi diatas 8 atau 9 ton/ha.

IV. PROSEDUR PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Jadwal Kegiatan
B. Organisasi Pelaksana
C. Rincian Anggaran


V. DAFTAR PUSTAKA
Bardhan R.S.K. 2001. Increasing yield in irrigated Boro rice through indica x japonica
improved lines in West Bengal India. Dalam S. Peng and B Hardy (eds.), Rice Research for Food Security and Poverty Alleviation. IRRI, Los Banos, Philipines.

BPS, 2000. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistika Jakarta.
Chen W., X. Zenyin, Z. Longbu, and Y. Shouren. 2001. Development of the new plant
type rice and advances in research on breeding for super high yield. Dalam S. Peng and B
Hardy (eds.), Rice Research for Food Security and Poverty Alleviation. IRRI, Los
Banos, Philipines.

Deptan. 1999. Profil Pertanian Indonesia. Departemen Pertanian, Jakarta.
Gardner, P.F., R.B. Pearce, and L. Mitchell. 1985. Physiology of crop Plants. Iowa State University Press. Ames.
Horie T. 2001. Increasing yield potential in irrigated rice: breaking the yield barrier. Dalam
S. Peng and B Hardy (eds.), Rice Research for Food Security and Poverty Alleviation. IRRI, Los Banos, Philipines.
Nishio T., T. Matsura, T. Takai, and T. Horie. 2000. Identification and evaluation of major
traits determining yield potential of rice under field conditions; Genotypic differences in the grain filling and associated plant factors. Japan J. Crop Sci. 69 : 34 – 35.

Peng S.G. dan K.G. Cassman. 1994. Evaluation of the new plant ideotype for increase yield
potential. Dalam K.G. Cassman (ed.) Breaking the Yield Barrier. P 5 – 20. IRRI, Los
Banos, Philippines.

Londong, P. 2000. Pengaruh Pemupukan hara Ca dan P terhadap produksi bahan kering dan nitrogen oleh Azolla pinnata. Kalimantan Agrikultura Vol. 7 (3), p.127-131.
Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Taslim, H., dan W. Y. Prastowo. 1987. Produksi biomas Azolla microphilla Pada tanah Sukamandi. Media Penelitian, No.4, Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi, p: 5 8.
Yoshida, S. 1982. Fundamentals of rice . Crop Science. IRRI, Los Banos, Philippines, P:i46 147

kompos makalah

PROSPEK TEKNOLOGI ENZYMATIS DALAM MENINGKATKAN HASIL PERTANIAN



A. PENDAHULUAN
Fluktuasi harga hasil panen yang tidak menentu dan kualitas produksi yang masih belum mampu bersaing dengan produk-produk import merupakan permasalahan yang sering dialami oleh para petani. Masalah lain yang juga sering dialami yaitu dengan dicabutnya subsidi oleh pemerintah yang menyebabkan kenaikan harga pupuk dan obat-obatan buatan dalam negeri maupun yang import melambung luar biasa sehingga tidak terjankau oleh petani, akibatnya pemalsuan atau pengenceran dari pupuk maupun obat-obatan perlu untuk diwaspadai secara lebih teliti oleh petani. Apabila hal ini tidak dicermati atau disikapi secara hati-hati, maka nasib petani diibaratkan sudah jatuh tertimpa tangga.
Era ekonomi global yang ditandai dengan diratifikasinya WTO, AFTA dan NAFTA jelas akan mempersulit posisi petani di Indonesia, terutama untuk perdagangan komoditas pertanian di pasar bebas. Hal ini disebabkan komoditi pertanian dari luar negeri, umumnya telah menggunakan teknologi tinggi dengan mekanisasi pertanian yang canggih serta luasan lahan penanaman dalam bentuk hamparan. Sehingga efisiensi produktivitas suatu komoditas pertanian akan tercapai secara efektif dan harga produksinya relatif murah. Selanjutnya apabila kondisi ini terjadi, bagaimana nasib petani Indinesia mensikapi. Apakah menjadi penonton dan tergilas !?.. ataukah berbuat sesuatu, untuk ikut proaktif dalam pasar global !?…Apabila hal ini menjadi tekad yang bulat bagi petani Indonesia, maka kita harus menyingsingkan lengan baju dan ikut berkiprah dalam pasar global, syaratnya adalah: membuat produk pertanian “Helthy Food” atau makanan sehat. Dalam menyongsong pasar global, kita masih mempunyai sedikit waktu. Karena itu manfaatkan waktu ini sebaik-baiknya. Hadapilah tangtangan sebagai peluang, dengan konsep bertani dalam rupiah dan memetik atau menuai hasil dalam dollar.
Untuk mewujudkan hal ini diperlukan jiwa ketauladanan dan jadilah seorang perintis/pioner agar menjadi agent of development di daerah dan kelak terbentuk community of development.

B. SEJARAH TEKNOLOGI ENZYM PERTANIAN
Teknologi ini dirancang berdasarkan permasalah yang ada, berkaitan erat dengan menurunnya produktivitas pertanian, akibat eksploitasi lahan pertanian yang terus menerus, kerasnya tekstur dan struktur tanah akibat beban berat produksi, pupuk buatan, pengapuran, tekanan pestisida, herbisida dan fungisida yang kesemuanya berdampak terhadap turunnya produksi pertanian. Atau secara garis besar Enzym Pertanian dirancang/didisain berdasarkan permasalahan yang ada dan kemudian disusun menjadi suatu solusi untuk memecahkan permasalahan yang dipoles oleh suatu ilmu pengetahuan yang maju dengan input/masukan teknologi kedepan yang dikerjakan oleh seorang anak bangsa Indonesia, yang tahu percis keadaan iklim, tanah dan kondisi sosial budaya bangsa dengan segala keterbatasannya. Jadilah produk unggulan, adapun ciri dari produk unggulan harus memenuhi beberapa kriteria: 1) Apabila diuji sesuai dengan disain teknologi. 2) Apabila dibandingkan dengan teknologi konvensional, menunjukan perbedaan yang nyata. 3) Memberikan nilai tambah atau benefit yang nyata dan memadai bagi petani. 4) Harga terjangkau oleh petani dan dapat diproduksi secara massal tanpa tergantung bahan baku import. 5) Aman bagi konsumen dan lingkungan serta tidak merusak habitat ekosistem tanah.
Teknologi digagas sejak tahun 1984 dan diteliti serta dikaji sampai dengan 1990, kemudian dilakukan kaji terap lintas sektoral dan uji dampak terhadap lingkungan 1990 s/d 1999. Selanjutnya disosialisasikan sejak tahun 1999 sampai dengan sekarang.

C. MISI, VISI DAN TUJUAN TEKNOLOGI ENZYM PERTANIAN
Misi dan visi mendukung program pemerintah dibidang pertanian yang berkaitan erat dengan program ketahanan pangan nasional, menuju swasembada pangan melalui upaya Gema Palagung dan hortikultura menuju masyarakat Indonesia yang Madani.

Adapun tujuan Teknologi Enzymatis Pertanian berupaya agar pendapatan/ penghasilan petani lebih baik dan menuju pembangunan pertanian berbasis peternakan yang berkaitan dengan penggalakan/pemanfaatan pupuk organik dan produktivitas hasil pertanian yang bebas pestisida, sehingga mampu bersaing dalam pasar ekonomi global.

D. KOMPOSISI ENZYM PERTANIAN

Cairan Enzym Pertanian terbuat dari sari pati tumbuhan dan air mineral alam yang bermanfaat untuk tanaman padi dan hortikultura secara menakjubkan, dengan biaya yang sangat murah dan menguntungkan bagi petani. Salah satu keunggulan cairan Enzym Pertanian, karena semua komponen bahan baku berasal dari dalam negeri dan sangat tidak tergantung dengan fluktuasi dollar. Sedangkan



1. Enzim Hayati
Merupakan katalisator alami, berasal dari tumbuh-tumbuhan sebagai bahan baku dasar pembuatan enzim hayati. Sedangkan fungsi enzim hayati untuk mempercepat berlangsungnya proses reaksi kimia, dimana enzim tersebut tidak mengalami perubahan didalam proses reaksi yang berlangsung. Salah satu keunggulan enzim hayati dapat mempercepat berlangsungnya proses reaksi kimia dengan kecepatan yang sangat menakjubkan, yaitu : Dua koma delapan kali kecepatan reaksi kimia secara wajar/normal dikalikan sepuluh pangkat sembilan belas. Contohnya :




Di dalam kandungan cairan Enzym Pertanian terdapat lima puluh delapan jenis enzim hayati yang bekerjanya diatur, berdasarkan suatu keadaan yang disesuaikan dengan kebutuhan pemulihan kualitas ekosistem tanah dan pengaturannya diatur oleh sistim pengendali terkontrol didalam teknologi Enzym Pertanian.
Sedangkan peranan enzim hayati di dalam Teknologi ini, secara umum dapat dijabarkan sbb:
1.1. Proteolitik
Merupakan enzim hayati yang mempunyai peranan untuk mempercepat proses reaksi kimia didalam tanah untuk memotong ikatan peptida dari senyawa protein komplek berasal dari sisa tanaman atau akar tanaman yang didalam tanah menjadi protein sedehana atau protein yang dapat dicerna atau menjadi asam amino yang langsung akan diurai menjadi unsur hara yang bermanfaat, misalnya: NO3 - , NH4+ , SO42 - dan PO43 - yang langsung dapat diserap oleh akar tanaman.
1.2. Karbolitik
Merupakan enzim hayati yang mempunyai peranan untuk mempercepat proses reaksi kimia untuk mengubah senyawa karbohidrat komplek (polisakarida) menjadi karbohidrat sedehana (monosakarida, misalnya: glukosa, fruktosa, laktosa dan lain-lain) yang langsung dimanfaatkan menjadi: Sumber enersi dan kerangka karbon untuk keberadaan dan kelangsungan hidup mikroba didalam tanah.
1.3. Lipolitik
Merupakan enzim yang mempunyai peranan untuk mempercepat proses reaksi kimia untuk mengubah senyawa lemak komplek menjadi lemak sedehana atau menjadi ether gliserol dan asam lemak yang langsung dapat dimanfaatkan oleh mikroba didalam tanah.
1.4. Katalitik
Merupakan enzim yang mempunyai peranan untuk mempercepat proses reaksi kimia dari senyawa khusus yang di-disain/dirancang menurut teknologi Enzym Pertanian.

2. Chellate Hayati
Berdasarkan sumber bahan baku pembuatan chellate dibagi menjadi dua golongan, yaitu: chellate berasal dari anorganik dan chellate berasal dari organik atau yang biasa disebut dengan chellate hayati. Sedangkan keunggulan chellate hayati dibandingkan dengan chellate anorganik, sbb: Chellate hayati berupa protein dengan rangkaian/rantai komponen asam amino yang spesifik, dimana masing-masing asam amino satu dengan lainnya diikatkan oleh ikatan peptida. Sehinga chellate hayati berasal dari bahan organik yang bersifat aman dan tidak beracun.

Kedua macam chellate pada hakekatnya mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
2.1. Menjaga keseimbangan kation dan anion didalam reaksi reduktif dan oksidatif. Sehingga pH tanah menjadi stabil dan dalam pengujian, diperlukan alat yang disebut “Redox Potential” untuk mengetahui berapa besar nilai “mvolt” ion dari proses pelepasan atau pengikatan kation dan anion dalam reaksi kimia yang berlangsung.

2.2. Menjaga keseimbangan jumlah karbon dan derajad alkalinitas, terutama yang berkaitan erat dengan keseimbangan pH tanah, misalnya: pengaturan perimbangan jumlah CO2 (karbon dioksida), HCO3- (ion bikarbonat), CO3 2 – (ion karbonat) dan OH- (ion hidroksi).

2.3. Menjaga keseimbangan derajad hardness atau kesadahan, dengan cara mendeteksi derajad kemampuan Ca2+ (ion kalsium) dan Mg 2+ (ion magnesium) untuk dapat mengikat HCO3- (ion bikarbonat), dan CO3 2 – (ion karbonat).

2.4. Berperan sebagai larutan penyangga/buffer dari fluktuasinya pH tanah. Sehingga akan diperoleh pH tanah tertentu, sesuai dengan keinginan yang didisain dalam teknologi Enzym Pertanian.

2.5. Dalam kondisi tertentu dapat bertindak sebagai aktivator untuk mengaktifkan katalisator organik maupun anorganik yang terikat oleh anion atau kation bebas.

2.6. Untuk menjaga keseimbangan ekosistim mikroba didalam tanah yang sesuai dengan ragam dan jumlahnya dibutuhkan kajian yang lebih teliti, berkaitan erat dengan kaidah-kaidah tersebut diatas dan hal ini merupakan salah satu keunggulan teknologi Enzym Pertanian.

Selanjutnya apabila dilihat dari sumber bahan baku. Kandungan chellate hayati dalam formula Enzym Pertanian terdapat lima puluh empat jenis dengan fungsi kerja yang sangat spesifik, sesuai dengan ekosistim mikroba didalam tanah yang bekerjanya sangat komplek. Sedangkan untuk mengatur proses tersebut dikontrol oleh sistim pengendali yang ada didalam teknologi Enzym Pertanian.

3. Substrat/ Media/Bio Nutrisi M.O/Pasangan dari Enzym Maupun Chellate
Substrat didalam formula Enzym Pertanian berasal dari sari pati tumbuhan yang dipilih, dikaji dan disusun sedemikian rupa, sehingga mempunyai fungsi yang unik dan berkaitan erat dengan kemampuan yang spektakuler.
Adapun fungsi-fungsi tersebut secara garis besar, sbb:
3.1. Merupakan media mikro organisme yang menguntungkan dan berguna untuk membantu proses pemulihan kualitas ekositem tanah, baik dalam situasi aerobic (mutlak butuh oksigen dalam pengkulturan) dan situasi anarobic (tidak ada oksigen dalam proses pengkulturan, misalnya: suatu kondisi anaerobic yang terjadi didalam tanah).
Adapun maksud dan pengertian media disini, agar semua mikroba didalam tanah secara selektif dan menguntungkan dapat ditangkap dari alam semesta yang dapat berkembang biak secara alami tanpa rekayasa genetik. Hal ini sangat penting artinya, karena pada hakekatnya semua mikroba didalam tanah, khususnya bakteri mudah sekali mengalami mutasi genetik, misalnya: E.coli yang ada didalam sistim pencernaan manusia tidak berbahaya, apabila jumlah populasinya terkendali. Tetapi setelah terbuang melalui tinja dan berada dalam alam bebas atau selokan/got/comberan, maka E coli berubah menjadi type liar dan apabila terinduksi didalam perairan dan akhirnya terkontaminasi dengan manusia akan menimbulkan penyakit muntaber.
Sebagai catatan yang perlu digaris bawahi: “dewasa ini banyak sekali beredar mikroba didalam tanah khususnya bakteri yang dijual dipasar bebas”. Hal ini sangat berbahaya karena sifat bakteri yang mudah mengalami mutasi genetik, akan memungkinkan untuk berubah menjadi type liar dan ganas. Karena itu kelompok orang-orang yang melakukan hal tersebut, adalah orang-orang yang tidak mempunyai kecintaan terhadap bangsa maupun negara.
Sedangkan formula Enzym Pertanian dalam tahap finishing/akhir proses pembuatan, dilakukan proses pasturisasi agar tidak mengandung mikroba atau bakteri dan steril. Sehingga formula Enzym Pertanian dapat disimpan lebih dari 10 tahun.

3.2. Keragaman kandungan substrat didalam cairan Enzym Pertanian secara garis besar, terdiri dari: 1) Lima puluh delapan jenis substrat pasangan enzim.; 2) Lima puluh empat jenis substrat pasangan chellate.; 3) Substrat penerima sinyal informasi.; 4) Substrat sistim pengendali.; 5) Substrat prossesor/aktivator selektif.; 6) Substrat media mikroba didalam tanah selektif.; 7) Substrat pengatur ekosistim mikroba didalam tanah selektif.

3.3. Substrat hayati kompleks didalam cairan Enzym Pertanian, harus didisain secara teliti dan diperhitungkan sedemikian rupa. Karena hal ini akan sangat menentukan terhadap “jumlah populasi dan keragaman mikroba didalam tanah”.

3.4. Substrat hayati kompleks didalam teknologi Enzym Pertanian, terbukti secara nyata mampu menerima dan memilah sinyal-sinyal informasi sesuai dengan kebutuhan fisiologi tanaman dan dapat bekerja secara optimal sesuai dengan disain teknologi Enzym Pertanian. Atau dengan perkataan lain sinyal-sinyal informasi tersebut diolah dan dikirim atau masuk kedalam sistim pengendali fungsi kerja lima puluh delapan jenis enzim kompleks atau dua puluh empat jenis chellate kompleks untuk diaktifkan secara terpadu antar lintas sektoral, maupun diaktifkan secara selektif partial dan dapat bekerja secara otomatis sesuai dengan pasangannya. Hal ini merupakan trobosan teknologi jauh kedepan yang masih langka dan apabila djabarkan secara matrikulasi akan terdapat jutaan variabel alternatif yang sulit untuk ditiru atau dijiplak dan “hal tersebut merupakan keunggulan teknologi Enzym Pertanian” yang menyebabkan teknologi Enzym Pertanian lebih unggul dibandingkan dengan teknologi lainnya.

4. Vitamin dan Garam Elektrolit

Vitamin adalah senyawa organik yang tidak ada hubungannya satu dengan yang lain dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Dalam berlangsungnya proses pemulihan ekosistem mikroba tanah, vitamin hanya diperlukan dalam jumlah kecil untuk pertumbuhan mikroba secara normal.
Menurut kelarutan dan fungsi fisiologis maka vitamin dibagi menjadi dua golongan yaitu:
4.1. Vitamin yang larut dalam air dan tidak larut dalam lemak yaitu: vitamin golongan B komplek berfungsi sebagai senyawa essensial/mutlak harus ada sebagai ko-enzim dalam proses metablisme. Selanjutnya vitamin tersebut dalam keadaan normal tidak mutlak ada, karena mikroba didalam tanah dapat mensintesanya. Demikian juga vitamin C dapat disintesa oleh mikroba tanah dalam jumlah yang terbatas. Adapun fungsi khusus didalam jaringan tanaman, berguna untuk mengatur proses reaksi reduktif dan oksidatif didalam sel tanaman, sehingga tanaman tidak rentan terhadap serangan penyakit.

4.2. Vitamin yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak, yaitu: golongan Vitamin A,D,E dan K.

4.3. Garam elektrolit adalah kumpulan mineral dalam bentuk garam-garam fisiologi yang dibutuhkan oleh tanaman dari setiap makhluk hidup untuk berlangsungnya proses metabolisme. Keberadaanya dalam teknologi Enzym Pertanian berkaitan erat denga perimbangan yang ideal antara : C/M.O Ratio.; C/N Ratio.; C/P Ratio.; C/Ca Ratio.; C/ Mg dan lain-lain. (Catatan : C = Karbon.; M.O = mikro organisme.; N = nitrogen.; Ca = kalsium.; P = posphat.; Mg = magnesium).

B. KINERJA ENZYM PERTANIAN (BIO TANI) DIDALAM TANAH

Secara tampak lahiriah didalam tanah terjadi proses perimbangan yang ideal antara : 1 ) Fisika Tanah: tekstur dan struktur tanah menjadi gembur dan mawur.; 2) Biologi Tanah: kehidupan mikroba tanah menjadi serasi atau selaras, sehingga ekosistem tanah menjadi berimbang dan mikroba pathogen akan tertekan hidupnya. Hal ini terlihat dengan menurunnya endemi penyakit/hama.; 3) Kimia Tanah, misalnya : pH, air tanah, alkalinitas, hardness menjadi stabil dan pertukaran ion-ion antara anion maupun kation dalam posisi berimbang. Sehingga unsur hara tanah menjadi berimbang atau serasi dan penyerapan unsur hara oleh tanaman menjadi sempurna. Selanjutnya perubahan unsur hara atau kimia tanah dapat dilihat dalam tabel 2.
Tabel 2. Perubahan Unsur Hara Makro atau Kimia didalam Tanah

Diskribsi Reaksi Reduktif
Unsur Hara
Terikat Reaksi Normal
Unsur Hara
Terserap Sempurna Reaksi Oksidatif
Unsur Hara
Terikat
pH Tanah < 5,4 5,5 – 6,2 > 6,3
Unsur Hara:
- Nitrogen
- Posphat
- Kalium
- Sulfat
NO2 –
PO33 –
KCl
SO32 –
NO3– & NH4+
PO43 –
K2O
SO42 – & NH4(SO4)2
NH3
Ca(PO4)2 & KPO4
KPO4
Ca SO4 & K(SO4)2
Air H + H2O OH -
Karbon (C) atau Alkalinitas
CO2 & H2CO3
HCO3 -
CO3 2 - & OH -
Hardness - - CaCO3 & CaMg(CO3) 2
Ion-Ion Al, Au, Fe, Pb, Cu,
Mn, Mo, Si, Se. - Ca, Mg
Sumber : R & D PT.Nusa Indo Agro Madani , tahun 1990

D. KINERJA ENZYM PERTANIAN DI DALAM DAUN
Daun merupakan faktor penting untuk tanaman yang berhijau daun, karena daun merupakan perangkat utama untuk berlangsungnya proses fotosintesa yang berguna untuk mengubah cahaya matahari menjadi cadangan makanan berupa pati atau amylum. Adapun reaksi fotosintesa siang hari tersebut dilihat dibawah ini:

Fotosintesa Siang ATP
n CO2 + n H2O Cn(H2O)n + n O2
Sel Hijau Daun
Fotosintesa malam ADP ATP
n CO2 + n H2O Cn(H2O)n + n O2
Sel Hijau Daun

Dalam proses fotosintesa siang hari yang terpenting adanya : Jebakan CO2 dalam udara, jumlah air, matahari (intesitas/lama penyinaran atau sudut penyinaran) dan jumlah sel hijau daun yang tentunya berkaitan dengan lebar daun dan demikian sebaliknya pada fotosintesa pada malam hari, perlu jebakan O2 , tersedianya pati dan tersedianya ATP.
Untuk mengatasi hal tersebut teknologi Enzym Pertanian, mensiasati atau mendisain agar tanaman menjadi rimbun sehingga dapat menjebak CO2 pada reaksi fotosintesa malam hari yang selanjutnya akan digunakan dalam reaksi fotosintesa siang hari dan demikian sebaliknya.
Penyemprotan daun dengan Enzym Pertanian dicampur dengan telor ayam adalah sangat disarankan, hal ini bertujuan agar tanaman berdaun lebat/rindang dan berdaun lebar yang bertujuan agar proses fotosintesa dapat berjalan sempurna. Disamping itu kombinasi antara Enzym Pertanian dengan telor akan menjadi Alpha Bucetracol, yaitu: hormon bunga.
Perlakuan penyemprotan daun yang dilakukan berkala, akan sangat bermanfaat karena didalam Enzym Pertanian terdapat substrat yang bermanfaat untuk dapat merangsang pertumbuhan mikroba fotosintesa yang berguna sebagai booster dari sel hijau daun sehingga dapat bekerja ganda dan tidak banyak terpengaruh oleh cuaca pegunungan yang sering sinar mataharinya tertutup oleh awan (mendung).
Penyemprotan daun dengan Enzym Pertanian dapat dicampur dengan pestida, fungisida atau insektisida yang dosisnya, disarankan agar dikurangi sedikit, akan tetap efektif karena Enzym Pertanian dilengkapi dengan Enzim sebagai katalisator organik yang dapat meningkatkan kinerja pestisida, fungisida atau herbisida. Disamping itu Enzym Pertanian dilengkapi dengan Chellate yang berfungsi sebagai buffer/penyangga pH larutan, karena mampu menetralisir radikal-readikal bebas.

F. APLIKASI ENZYM PERTANIAN UNTUK TANAMAN HORTIKULTURA
1. Pengolahan Tanah
Tujuan pengolahan tanah agar tekstur maupun struktur tanah menjadi gembur dan pH tanah tanah akan menjadi stabil. Dalam aplikasi teknologi Enzym Pertanian disarankan tidak menggunakan Kaptan ( Kapur pertanian, misalnya kapur tohor/kalsit CaCO3 , Ca OH dan dolomit CaMg (CO3)2 ).

1.1. Larutkan Enzym Pertanian sebanyak 2 liter (2 botol) dengan air ± 1.000 liter dan siram merata kepermukaan tanah yang akan diolah. Kemudian cangkul dan buatkan bedengan sesuai dengan kebiasaan petani dan disesuaikan dengan jenis tanaman yang akan ditanam. Selanjutnya biarkan 4-5 hari.

1.2. Berikan pupuk dasar, misalnya: Urea, Za, KCl, Super Posphat, dan pupuk kompos sesuai dengan kebiasaan petani. Untuk penggunaan pupuk kompos cukup digunakan dosis 25% dari kebiasaan yang dilakukan oleh petani, misalnya: 10 ton/Ha cukup dengan 2,5 ton/Ha.

1.3. Usai pemberian pupuk dasar, maka larutkan Enzym Pertanian sebanyak 2 liter (2 botol) dengan air ± 1.000 liter dan siram merata kepermukaan tanah yang telah diberi pupuk dasar.

1.4. Setelah selesai pemberian pupuk dasar, bedengan ditutup dengan plastik atau mulsa.

1.5. Tanah siap untuk ditanami dengan tanaman hortikultura, sesuai dengan kebiasaan yang dilakukan oleh petani.

2. Perawatan Tanaman

Perawatan tanaman dibagi dua, yaitu : 1) Perawatan Tanaman untuk Perkembangan vegetatif, meliputi: akar, batang daun dan pertumbuhan tunas atau cabang. 2) Perawatan Tanaman untuk Perkembangan generatif dan Perawatan daun, bunga dan buah.
Adapun tujuan dari perawatan tanaman agar, diperoleh tanaman yang seragam baik warna daun, kerimbunan, tinggi tanaman dan kemampuan produkvitas perpohonnya. Umumnya apabila aplikasi Enzym Pertanian dilakukan secara baik dan benar, maka tanaman akan cenderung tahan terhadap serangan hama/penyakit. Kemudian cabang maupun ranting tanaman menjadi berwarna hijau cerah dan daun cenderung lebat, sehingga proses fotosintesa akan lebih sempurna. Sehingga persentase bunga yang gugur akan menjadi lebih kecil dan kecenderungan kualitas buahnya akan lebih baik.

2.1. Perawatan Tanaman u/ Perkembangan Generatif dan vegetatif
2.1.1. Buat campuran pupuk makro yang mengandung N,P dan K, misalnya: Urea 5 Kg, KCl 1 Kg dan SP-36 2 Kg kemudian diaduk/dicampur sampai dengan merata.
2.1.2. Setiap 7-10 hari berikan campuran pupuk tersebut pada tanaman sesuai dengan kebutuhan yang aplikasinya disesuaikan dengan besar, kecilnya tanaman atau umur tanaman. Dengan takaran diantara 1 s/d 7 gram pertanaman, yaitu dengan rincian sbb: Pemupukan
Pertama disudut utara, 7-10 hari kemudian di sebelah selatan, 7-10 hari kemudian di sebelah timur dan 7-10 hari kemudian disebelah barat. Demikian selanjutnya sampai dengan tanaman tua dan tidak produktif.

2.1.3. Setiap pemberian pupuk makro berikan Enzym Pertanian sebanyak 300 cc (1/3 botol Enzym Pertanian) dan campur dengan 200 liter air. Kemudian disiramkan pada tanah disekitar tanaman secukupnya.

2.2. Perawatan daun, bunga dan buah
2.2.1. Penyemprotan dilakukan setiap 7 hari sekali dengan menggunakan Enzym Pertanian sebanyak 60 cc (4 tutup botol Enzym Pertanian) ditambah 1 butir telur ayam dan satu sendok makan KNO3 powder atau kristal. Kemudian dicampur dengan sebanyak 17 liter atau satu tangki penyemprot tanaman. Penyemprotan tanaman dilakukan sampai dengan tanaman tua atau sudah tidak produktif..
2.2.2. Penyemprotan ini bisa dicampur dengan 1 ons belerang atau obat-obatan lain, misalnya : insektisida, fungisida dengan dosis diperkecil menjadi 50 - 75% .
Daya kerja insektisida, maupun fungisida akan lebih efektif karena didukung oleh Enzym Pertanian yang terkandung didalam Enzym Pertanian.
2.2.3. Dengan menggunakan Enzym Pertanian maka obat-obatan, misalnya: zat Perangsang daun, zat perekat daun, zat perangsang bunga dan lain-lain sudah tidak digunakan lagi.

herbarium


PENDAHULUAN

Obesitas merupakan epidemi yang menyebar di seluruh dunia. Dalam beberapa dasawarsa belakangan ini prevalensi obesitas meningkat. Pusat statistik kesehatan nasional AS memperkirakan prevalensi obesitas di AS sebesar 35% dan mengindikasikan jika tingkat perubahan berat badan tidak dikurangi, maka pada tahun 2230, 100% orang dewasa di AS akan kelebihan berat badan. Walaupun hal ini tidak mungkin terjadi dan merupakan ekstrapolasi dari kecendrungan masa kini yang mengkhawatirkan.
     Obesitas menjadi masalah kesehatan yang memerlukan perhatian khusus karena berkaitan dengan berbagai faktor resiko penyakit antara lain hipertensi, dislipidemia, hiper trigliseridemia, aterosklerosis, yang seluruhnya merupakan faktor resiko untuk penyakit jantung koroner. WHO 1997 menyatakan bahwa obesitas merupakan masalah epidemologi global serta ancaman yang serius bagi kesehatan.
     Untuk Indonesia, prevalensi obesitas juga meningkat sejalan dengan perubahan pola hidup, banyaknya makanan siap saji yang mengandung kadar lemak yang tinggi, di samping adanya perubahan derajat aktivitas. Penelitian oleh Kodya dkk,di 12 kota besar di Indonesia dengan 10.494 subyek berumur antara 18-65 tahun, mendapat hasil 10,3% subyek termasuk gizi
lebih (IMT>27) dan 12,2% termasuk gemuk tingkat berat/obesitas (IMF>27).
     Berbagai mekanisme kontrol untuk memelihara berat badan di atur oleh hipotalamus dalam jangka pendek dan panjang. Adapun peptida yang berpengaruh terhadap pengaturan berat badan adalah Leptin, neuropeptide, cholecystokinin, insulin dan sekelompok peptida yang lain.Telah banyak usaha dilakukan untuk menanggulangi masalah obesitas, di antaranya melakukan diet dengan keberhasilan yang sangat bervariasi.
Penemuan baru-baru ini terhadap leptin, yaitu sebuah faktor kepuasan yang kuat telah menimbulkan spekulasi mengenai kemungkinan baru bagi pengobatan dan pencegahan obesitas.Dalam makalah ini di bahas tentang kemungkinan Leptin untuk digunakan sebagai terapi obestas.
Obesitas sebagai akibat dari gangguan keseimbangan energi tubuh, ditandai dengan adanya penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan.

Kriteria Diagnostik
Terdapat beberapa macam kriteria yang di pakai untuk menentukan obesitas secara antropometri, antara lain :

Berat Badan (BB)
Pada cara ini hanya di lihat persen berat badan terhadap berat badan idaman / standar.
Kelemahan cara ini ialah :
1.   Tidak dikaitkan dengan tinggi badan (TB) sehingga tidak mencerminkan proporsi tubuh.
2.   Penampilan fisik seseorang dipengaruhi komposisi tubuh, yang terdiri dari massa lemak dan massa tanpa lemak, sehingga seseorang dengan BB yang sama dapat mempunyai lemak tubuh yang berbeda.

Berat Badan & Tinggi Badan
BB/TB mencerminkan proporsi tubuh, BB/TB2 (IMT/Indeks Massa Tubuh = Quetelet Index) memberikan gambaran massa tubuh tanpa lemak (Lean Body Mass)
          
Tabel 1.Kategori obesitas berdasarkan
 BB dan TB
Kategori
BB/TB (%)
BB/TB2 (%)
Obesitas ringan/derajat I
120-135
25-29,9
Obesitas sedang/derajat II
135-150
30-40
Obesitas berat/derajat III
150-200
>40
                      
Kelemahan BB               : sedikit korelasinya dengan lemak tubuh.
Kelemahan IMT              : beberapa  individu berotot dapat di klasifikasi Sebagai obesitas.

Tebal Lipatan Kulit (skin fold tickness)
Kandungan lemak tubuh adalah komponen yang paling bervariasi dalam tubuh, berbeda antara individu pada jenis kelamin, tinggi dan berat yang sama. Rata-rata kandungan lemak pada perempuan lebih tinggi dari laki-laki yaitu 26,9% dari total berat badan dibandingkan 14,7% pada laki-laki,Sedang lemak cadangan pada perempuan sebesar 15% dari total berat badan dan 12% pada laki-laki. Sepertiga dari total lemak tubuh subkutan, di mana persentasinya akan meningkat sesuai dengan peningkatan berat badan.
Kriteria obesitas dengan mengukur tebal lipatan kulit / subkutan dapat di ukur pada beberapa tempat; memakai jumlah (dalam mm) 4 lokasi lipatan kulit pada biseps, triseps, subs kapula dan suprailliaka, dengan menggunakan tabel dapat diketahui kandungan lemak dalam persen BB sesuai dengan jenis kelamin dan usianya.
Kelemahan :
1.    kesalahan pengukuran intra dan interpersonal cukup besar.
2.     Penggukuran lebih sulit pada obesitas berat.

Perbandingan lingkar pinggang / lingkar panggul (waist Hip Ratio)
Untuk penilaian obesitas abnormal berkaitan dengan obesitas sentral, dipakai WHR. Nilai > 0,9 pada laki-laki dan > 0,85 pada perempuan menunjukkan adanya obesitas sentral.

ETIOLOGI OBESITAS

Etiologi timbul obesitas multi faktorial yang umumnya saling meningkatkan dan berkaitan satu sama lain. Lingkungan dan genetik, keduanya berinteraksi dengan kompleks, termasuk pengaruh faktor psikologik dan kebudayaan sama besar dengan mekanisme regulasi fisiologik.
Prevalensi yang meningkat dari obesitas pada beberapa puluh tahun  terakhir ini berakibat perubahan lingkungan dan pola hidup memegang peranan yang sangat penting. Kurangnya aktivitas dan konsumsi lemak yang berlebihan, menyebabkan keadaan balans energi positif dalam jangka waktu lama, sehingga merupakan faktor inisiasi obesitas.
     Pada penelitian besar Sorense yang di kutip oleh Wardle pada kelompok anak yang di adopsi, menunjukan sedikit pengaruh kegemukan (dengan implikasi gaya hidup) orang tua angkat pada anak yang di adopsinya.Dibandingkan penelitian yang dilakukan pada kembar identik yang tinggal terpisah, didapatkan kenaikan berat badan yang hampir sama pada keduanya. Tetapi pada waktu yang sama, diketahui kembar identik dewasa tidaklah identik berat bedanya, jadi pengaruh lingkungan juga ikut berperan.
     Penelitian terbaru dari beberapa sentral penelitian menunjukan obesitas pada manusia diperkirakan sebanyak 50% - 79% mempunyai komponen genetik, berarti mempunyai peran yang bermakna pada timbulnya. Genetik dari orang tua merupakan predis posisi menjadi obesitas.

KOMPLIKASI

     Obesitas terutama yang berat merupakan suatu problem kesehatan yang bermakna berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Peningkatan resiko kesehatan ini berhubungan dengan  distribusi lemak abdominal dan tidak hanya semata-mata derajat obesitas. Metabolisme jaringan lemak abdomen di duga sebagai  penyebab dari beberapa resiko yang berat sebagai suatu gejala sindroma X berupa resistensi insulin, hiperinsulinemia, diabetes tidak tergantung insulin (NIDDM), hipertensi, gangguan metabolisme lemak dan pembentukan batu kolesterol pada empedu, dan semuanya ini merupakan faktor resiko timbulnya penyakit jantung koroner.

LEPTIN

Pada tahun 1995 ditemukan gen obesitas (cb), yaitu suatu rantai protein yang tersusun oleh 167 asam amino. Protein ini di sebut Leptin yang di ambil dari kata Yunani “Leptos” yang berarti kurus.
Leptin adalah protein yang di kode oleh gen kegemukan dan disekresikan oleh sel-sel lemak sebagai respons terhadap status nutrisi. Dengan teknik pemeriksaan radioim munoassay dapat di ukur kadar leptin dalam serum. Pada orang dengan berat badan normal (IMT 23,0 + 2,5) kadar leptin berkisar 7,5 + 9,3 ng/ml, sedangkan pada penderitaan obesitas dengan indeks massa tubuh untuk pria >27,3 dan wanita >27,8, kadar leptin berkisar 31,3 + 24,1 ng/ml.

LEPTIN SEBAGAI KEMUNGKINAN UNTUK TERAPI OBESITAS

Pengobatan tikus yang gemuk secara genetik dengan leptin menghasilkan masukan makanan yang berkurang, kehilangan berat badan dan penurunan lemak tubuh. Leptin mungkin merupakan sinyal hormonal dari lemak tubuh yang telah lama di cari-cari dan di usulkan di dalam teori lipostat.
         Pengobatan dengan leptin membuat tikus normal maupun tikus gemuk menjadi kurus. Tiga kelompok peneliti secara bersamaan melaporkan bahwa injeksi leptin intra peritoneal menyebabkan penurunan asupan makanan dan kehilangan berat badan pada tikus ob/ob dan tikus normal. Terutama, dua dari laporan ini dari tim peneliti farmasi, satu dari Amgen dan lainnya dari Hoffman-La Roche. Dapat dipahami, perusahaan-perusahaan ini sangat tertarik pada pengembangan obat-obatan baru untuk menurunkan berat badan. Dalam hal ini, patut di catat bahwa leptin eksogen adalah efektif pada tikus normal dengan obesitas yang berkurang dengan diet lemak-tinggi. Penurunan pada berat badan tergantung pada dosis dan waktu; misalnya injeksi leptin 6 ug dua kali sehari menghasilkan penurunan berat badan 7% dalam waktu 5 hari pada tikus ob/ob. Di ikuti dengan peningkatan berat yang cepat selama 2 hari tanpa perlakuan. Kelanjutan injeksi tidak menimbulkan penurunan berat lebih lanjut tetapi berat badan stabil dengan kecepatan yang semakin berkurang; perubahan yang sama tetapi lebih kecil terlihat pada separoh dosis. Sekali injeksi intravenous dengan leptin 3 ug iv tunggal, setelah puasa selama semalam, menurunkan asupan makanan sebesar 45% selama 7 jam berikutnya. Pada tikus ob/ob yang diperlukan setiap hari dengan leptin 5 ug per gram berat badan (-100 ug leptin/tikus) selama 33 hari, kelompok Friedman menemukan bahwa berat badan menurun secara tetap sampai 60% dari tingkat awal, dan lemak tubuh menurun sampai  28% dibandingkan 60% pada tikus kontrol. Masukan makanan menurun secara bermakna pada hari ke 2 dan stabil menjelang hari ke 4 pada keadaan -40% dari asupan tikus kontrol. Pada tikus betina normal, lemak tubuh berkurang dari 1% dibandingkan dengan 12% pada tikus kontrol.
     Di samping dampak kepuasan, leptin mungkin menimbulkan kehilangan berat badan dengan merangsang thermogenesis dan kegiatan fisik. Tikus ob/ob yang di beri makan yang sama tidak kehilangan sebanyak berat sebagai mana tikus ob/ob yang di obati dengan leptin, yang menunjukkan bahwa leptin juga menimbulkan kenaikan pada pengeluaran energi. Pellerymounter et al, mengamati bahwa pemberian leptin menormalisir konsumsi oksigen, suhu tubuh, dan kegiatan lokomotor, yang rendah pada tikus ob/ob, tetapi tidak mempunyai efek tersebut pada tikus normal; hyperinsulinemia dan hyperglycemia yang terdapat pada tikus ob/ob juga berkurang sampai tingkat normal yang tergantung pada dosis.
     Efek rasa kenyang leptin mungkin ditengahi dengan interaksi dengan neuropetide Y (NPY). Team riset Eli Lilly menunjukkan bahwa leptin menghambat sintesis dan pelepasan NPY yang merupakan stimulator napsu makan yang kuat. Dengan fungsi-fungsi yang berlawanan dengan fungsi-fungsi leptin, NPY meningkatkan masukan makanan, mengurangi thermogenesis, dan meningkatkan masukan makanan, mengurangi thermogenesis, dan meningkatkan tingkat plasma insulin dan corticoserone. mRNA untuk NPY di dalam hipotalamus meningkat pada tikus kecil ob/ob dan menurun dengan injeksi leptin subcutaneous selama 30 hari. In vitro, leptin menghambat pelepasan NPY dari sel-sel hipotalamus dari tikus besar normal. Jadi leptin bisa bekerja dengan mengurangi kadar NPY, yang akan menimbulkan effek rasa kenyang.

KESIMPULAN
Obesitas merupakan problem kesehatan yang cukup besar di negara maju maupun Indonesia, sehubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.
Etiologi obesitas multi faktoril yang dipengaruhi oleh lingkungan, genetik, psikologik yang saling berkaitan satu sama lain.
Komplikasi obesitas berupa penyakit kronis, resistensi insulin, hipertensi, NIDDM, displidemia dengan akibat peningkatan resiko PJK.
Penemuan leptin sebagai hormon yang mengatur keseimbangan energi tubuh dengan menurunkan napsu makan, meningkatkan termogenesis dan aktivitas fisik merupakan suatu harapan baru dalam pengembangan penelitian kemungkinan dipakainya leptin sebagai pengobatan farmakologi yang menyokong efek program pengaturan berat badan konvensional dalam terapi obesitas.
    


KEPUSTAKAAN
1.    Behme MT (1996), Leptin : Product of the Obese Gene Nutrition Today Vol. 31 No. 4 hal. 138-41.

2.    Bray GA (1996), Obesity dalam Present Knowledge in Nutrition 7 th and (Ziegler EE:& Filer LJ, eds), hal 19-24 ILSI Press, Washington DC.

3.    Caro FJ, Sinha k M, Kolaczynski WJ, Zhang LP, Considine VR (1996), Leptin : The Tale of an Obesity Gene Diabetes, Vol. 45, hal. 1455-62.

4.    Gibson RS (1993). Principle of Nutritional Assessment, hal. 187-95, Oxford University Press, New York.

5.    Hendromartono (2000), Dietary Treatment of Obesity in Weight Management National Workshop, Denpasar.
6.    James WPT, Hoggard N, Ralph A. (2000), Nutrition and Genetics dalam Human Nutrition and Dietetics, Tenth Edition (Gorrow JS, James WPT, Ralph), hal 289-99, Churchill Livingstone.

7.    Kodyat B.A Minarto. Ramchan Raoef, dkk (1996), Survei Indeks Massa Tubuh (IMT) di 12 Kotamadya Indonesia, Gizi Indonesia 21 : 52 – 61.

8.    Scwartz MW, Ronald L, Steven EK,dkk (1997), Evidence That Plasma Leptin and Insulin Levels are associated with Body

9.    Adiposity via Different Mechanisme, Diabetes Care, 20 : 1476 – 81.

10.              Wardle J (1996), Obesity and Behavior Change : Matching Problems to Practice, International Journal of Behavior Change : Matching Problems to Practice, International Journal of Obesity 20, Suppll, 51-58.

11.              Wildman E.C., Medeiros MD (2000); Advanced Human Nutrition, hal. 321-42, CRC Press, Washington DC.













TUGAS KELOMPOK
Makalah Dasar-Dasar Gizi


OBESITAS PADA ORANG DEWASA


unhas
 






NAMA : ZAINUDDIN
NIM : K11109266
KELAS : B

KELAS  B :
ZAINUDDIN (K11109266)
FAJRIN SALEH (K11109281)
MUH.SUYUTI SYAM (K11109289)



FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2010